revisednews – Krisis politik di Prancis semakin memuncak setelah gelombang protes besar melanda berbagai kota, menuntut Presiden Emmanuel Macron untuk mundur dari jabatannya. Desakan ini muncul setelah kebijakan kontroversial pemerintah terkait reformasi ekonomi dan kebijakan keamanan dinilai memperburuk kesenjangan sosial dan memperlemah kepercayaan publik terhadap kepemimpinan Macron.
Dalam beberapa pekan terakhir, demonstrasi yang awalnya berlangsung damai berubah menjadi aksi besar dengan bentrokan antara massa dan aparat kepolisian. Di Paris, Marseille, Lyon, dan Bordeaux, ribuan warga turun ke jalan sambil membawa poster bertuliskan “Macron Dégage!” (“Macron, mundur!”).
Kemarahan publik dipicu oleh langkah pemerintah yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat kecil, terutama setelah Macron meloloskan rancangan undang-undang tenaga kerja tanpa persetujuan penuh parlemen. Banyak warga menilai kebijakan itu memperpanjang ketidakpastian ekonomi, mempersempit hak pekerja, dan memperlemah jaminan sosial.
“Macron sudah terlalu jauh. Ia lebih mendengarkan korporasi besar daripada rakyat,” ujar Camille Dupont, salah satu pengunjuk rasa di Place de la République, Paris.
- Gelombang Protes yang Meluas
Aksi protes kali ini disebut sebagai yang terbesar sejak demonstrasi Yellow Vests pada 2018. Serikat buruh, mahasiswa, dan pegawai negeri bergabung dalam barisan massa, menandakan meluasnya ketidakpuasan terhadap pemerintahan. Di beberapa kota, layanan transportasi umum lumpuh, sekolah tutup, dan toko-toko memilih tidak beroperasi karena situasi yang memanas.
Kementerian Dalam Negeri Prancis mencatat lebih dari 250 ribu orang ikut serta dalam aksi protes nasional pada pekan pertama Oktober. Polisi menahan ratusan demonstran yang diduga melakukan tindakan anarkis, sementara sedikitnya 40 petugas terluka akibat bentrokan.
- Tekanan Politik dari Dalam Parlemen
Krisis tidak hanya datang dari jalanan. Di parlemen, partai oposisi sayap kiri dan kanan sama-sama menekan Macron untuk mengambil tanggung jawab atas ketegangan nasional. Beberapa anggota parlemen bahkan menyerukan mosi tidak percaya terhadap pemerintah, meski belum mendapat dukungan mayoritas.
Ketua Partai France Unbowed, Jean-Luc Mélenchon, menegaskan bahwa “Macron telah kehilangan legitimasi moral untuk memimpin negara.” Ia menilai langkah terbaik bagi stabilitas Prancis adalah pemilu dini yang memberi kesempatan rakyat menentukan arah baru pemerintahan.
Sementara itu, partai sayap kanan National Rally yang dipimpin Marine Le Pen ikut memperkuat tekanan, menuduh Macron gagal menjaga keamanan nasional dan ekonomi domestik.
- Respons Macron: Bertahan di Tengah Badai
Dalam pidato yang disiarkan dari Istana Élysée, Macron menolak tuntutan mundur dan menegaskan bahwa ia tetap fokus menyelesaikan masa jabatannya hingga 2027. Ia mengakui adanya “kegelisahan sosial yang sah,” namun meminta rakyat tidak terprovokasi oleh kelompok yang ingin menggoyahkan stabilitas negara.
“Kita sedang melalui masa sulit, tetapi saya tidak akan meninggalkan tanggung jawab. Reformasi ini diperlukan untuk masa depan Prancis,” ujar Macron dengan nada tegas.
Pemerintah juga berupaya meredam ketegangan dengan menawarkan dialog sosial, terutama dengan serikat pekerja dan kelompok sipil. Namun, banyak pihak menilai langkah itu sudah terlambat, mengingat ketidakpercayaan publik terlanjur mengakar.
- Dampak terhadap Ekonomi dan Citra Internasional
Krisis politik yang berlarut-larut mulai memengaruhi ekonomi nasional. Bursa saham Prancis mengalami penurunan, dan nilai euro sempat melemah terhadap dolar AS. Investor asing dikabarkan menunda sejumlah proyek karena menunggu kepastian politik.
Selain itu, citra Prancis di mata dunia turut terpengaruh. Media internasional menyoroti bagaimana negara yang dikenal dengan demokrasi kuat kini terbelah oleh ketegangan politik dan sosial yang tajam.
- Langkah Selanjutnya
Pengamat politik menilai, jika Macron gagal meredakan situasi dalam waktu dekat, kemungkinan besar tekanan untuk mengadakan pemilu legislatif dini akan semakin kuat. Sebagian analis bahkan menyebut krisis ini sebagai ujian terbesar dalam karier politik Macron sejak ia menjabat pada 2017.
“Macron mungkin masih punya waktu untuk memulihkan kepercayaan rakyat, tapi tidak banyak. Jika gelombang protes terus membesar, skenario lengser bukan lagi hal mustahil,” ujar Pierre Laurent, analis politik dari Universitas Sorbonne.

