revisednews – Kasus yang melibatkan mantan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Barat (Kajari Jakbar), Reda Manthovani, mencuat ke publik setelah terungkap bahwa ia diduga mengambil uang barang bukti (barbuk) senilai miliaran rupiah. Ironisnya, meskipun dugaan korupsi ini telah menjadi sorotan nasional, pihak kepolisian menyatakan bahwa Reda tidak akan dipidana secara hukum. Keputusan ini memicu gelombang kritik dari masyarakat, pakar hukum, dan aktivis antikorupsi.
Berikut ini adalah rangkuman perkembangan kasus tersebut serta reaksi publik dan pakar terhadap keputusan yang diambil aparat penegak hukum.
Dugaan Penggelapan Uang Barang Bukti
Kasus ini bermula dari laporan internal di lingkungan Kejaksaan Negeri Jakarta Barat yang mencurigai adanya penyalahgunaan barang bukti uang tunai dari beberapa perkara pidana. Uang tersebut seharusnya disimpan sebagai bagian dari barang bukti dan nantinya disetorkan ke kas negara.
Namun, setelah dilakukan audit internal oleh Kejaksaan Agung, ditemukan bahwa uang barang bukti senilai lebih dari Rp7 miliar diduga telah digunakan tanpa prosedur yang sah. Reda Manthovani disebut-sebut sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas penggunaan uang tersebut, karena posisinya saat itu sebagai pimpinan tertinggi di Kejari Jakarta Barat.
Polisi: Tidak Ada Unsur Pidana
Meskipun bukti dugaan penyalahgunaan barang bukti telah diungkap oleh internal Kejaksaan, pihak kepolisian menyatakan tidak menemukan unsur pidana dalam kasus tersebut. Kepolisian beralasan bahwa uang itu tidak digunakan untuk kepentingan pribadi, melainkan dipakai untuk “operasional kedinasan”.
Kepala Divisi Humas Polri menyampaikan bahwa setelah dilakukan gelar perkara, pihaknya tidak melihat adanya niat jahat (mens rea) dalam tindakan Reda. Oleh karena itu, penyelidikan tidak dilanjutkan ke tahap penyidikan, dan kasus dianggap selesai secara hukum.
Keputusan ini langsung menuai kritik tajam dari masyarakat dan para pegiat hukum yang mempertanyakan standar ganda dalam penegakan hukum terhadap aparat negara.
Reaksi Publik dan Pengamat Hukum
Publik merespons dengan kemarahan dan kekecewaan atas tidak dipidananya Reda. Banyak yang menganggap bahwa hal ini menunjukkan lemahnya integritas penegakan hukum di Indonesia, terutama jika menyangkut aparat penegak hukum itu sendiri.
Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Dr. Febrianti Simanjuntak, menilai bahwa penggunaan uang barang bukti untuk keperluan apapun di luar ketentuan adalah bentuk penyalahgunaan wewenang yang seharusnya bisa dijerat dengan pasal korupsi.
“Tidak ada alasan pembenar untuk mengambil barang bukti tanpa prosedur. Apalagi jumlahnya mencapai miliaran rupiah. Ini bukan lagi pelanggaran etik, tapi masuk ranah pidana,” ujar Febrianti dalam wawancara dengan media.
Dugaan Pelanggaran Etik Didorong ke Komisi Kejaksaan
Meskipun tidak diproses secara pidana, Kejaksaan Agung menyatakan bahwa Reda Manthovani akan diproses melalui mekanisme etik. Kasusnya telah dilimpahkan ke Komisi Kejaksaan untuk ditindaklanjuti.
Namun demikian, sejumlah kalangan menilai proses etik bukanlah solusi memadai dalam kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat publik. Mereka mendorong agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun tangan dan menyelidiki kasus ini secara independen.
Lembaga antikorupsi ICW (Indonesia Corruption Watch) juga mengeluarkan pernyataan resmi yang mendesak KPK agar tidak tinggal diam. Mereka menilai bahwa penanganan oleh internal kejaksaan dan kepolisian tidak menjamin adanya transparansi dan keadilan.
Ancaman Krisis Kepercayaan terhadap Penegak Hukum
Kasus ini berpotensi menambah daftar panjang skandal yang menggerus kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum. Di tengah meningkatnya tuntutan transparansi dan akuntabilitas dari masyarakat, keputusan untuk tidak memidanakan Reda dianggap sebagai preseden buruk.
“Kalau aparat bisa lolos dari jerat hukum karena statusnya, maka hukum tidak lagi berfungsi sebagai alat keadilan, tapi alat kekuasaan,” kata Ray Rangkuti, pengamat politik dan kebijakan publik.
Ray menambahkan bahwa publik akan semakin skeptis terhadap komitmen pemberantasan korupsi jika aparat sendiri tidak bisa disentuh hukum.
Penutup: Sorotan atas Reformasi Hukum yang Mandek
Kasus Reda Manthovani membuka kembali luka lama tentang ketimpangan hukum di Indonesia. Ketika masyarakat biasa dihukum berat atas tindak pidana kecil, seorang pejabat tinggi kejaksaan bisa lolos meski diduga menyalahgunakan uang negara dalam jumlah besar. Masyarakat kini menanti langkah konkret dari lembaga-lembaga penegak hukum yang masih dipercaya, seperti KPK.
Jika kasus ini tidak ditangani secara transparan dan adil, bukan tidak mungkin krisis kepercayaan terhadap sistem hukum akan semakin dalam. Reformasi hukum yang selama ini digaungkan bisa dianggap gagal total bila aparat penegak hukum justru kebal dari hukum itu sendiri.

