revisednews – Di era digital saat ini, sosial media telah menjadi ajang bagi banyak orang untuk berbagi segala aspek kehidupan mereka, termasuk kekayaan dan gaya hidup mewah. Namun, fenomena ini mulai menuai kritik, khususnya dari kalangan Generasi Z. Generasi yang lahir antara 1997 hingga 2012 ini semakin menunjukkan ketidaksetujuan terhadap budaya pamer kekayaan yang sering dijumpai di platform-platform media sosial seperti Instagram, TikTok, dan YouTube.
Bagi banyak orang, sosial media sering kali menjadi tempat untuk memamerkan status sosial melalui gambar-gambar barang mewah, liburan mahal, hingga gaya hidup glamor. Namun, Generasi Z menanggapi hal ini dengan sikap kritis, melihat bahwa budaya pamer kekayaan bisa menumbuhkan kesenjangan sosial, meningkatkan tekanan psikologis, dan membentuk pandangan yang tidak realistis tentang hidup yang seharusnya lebih sederhana dan autentik.
Mengapa Generasi Z Menentang Budaya Pamer Kekayaan?
Salah satu alasan mengapa Generasi Z cenderung menentang budaya pamer kekayaan di sosial media adalah kesadaran yang tinggi tentang ketimpangan sosial dan ekonomi. Banyak dari mereka yang lebih menghargai nilai-nilai seperti kesetaraan, keadilan, dan keberlanjutan, dan mereka merasa bahwa pamer kekayaan dapat memperburuk kesenjangan yang ada di masyarakat.
Dalam survei yang dilakukan oleh berbagai lembaga riset, diketahui bahwa Generasi Z cenderung lebih prihatin dengan isu-isu sosial dan lingkungan dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Mereka lebih memilih berbagi konten yang bermakna dan bermanfaat, seperti aktivitas sosial, kampanye lingkungan, atau pencapaian pribadi yang lebih menginspirasi daripada memamerkan barang-barang mewah yang tidak dapat dijangkau oleh banyak orang.
Generasi Z juga tumbuh di tengah ketidakpastian ekonomi yang lebih besar dibandingkan generasi sebelumnya. Banyak dari mereka yang mengalami dampak langsung dari krisis finansial, pandemi COVID-19, dan tantangan lainnya yang memperburuk keadaan ekonomi global. Oleh karena itu, mereka lebih cenderung untuk mencari makna yang lebih dalam dalam hidup dan tidak terjebak dalam siklus konsumsi berlebihan yang hanya mengedepankan penampilan luar.
Tekanan Sosial dan Mental yang Ditimbulkan oleh Pamer Kekayaan
Budaya pamer kekayaan di sosial media tidak hanya menciptakan ketimpangan sosial, tetapi juga memicu tekanan mental, terutama di kalangan generasi muda. Generasi Z yang melihat gaya hidup mewah di media sosial sering kali merasa tertekan untuk memenuhi standar kecantikan atau kesuksesan yang tidak realistis. Fenomena ini menciptakan budaya kompetisi yang merugikan, di mana individu merasa bahwa mereka harus terus-menerus menunjukkan kemewahan untuk bisa diterima atau diakui.
Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa paparan terhadap konten yang berfokus pada kemewahan dapat berdampak buruk pada kesehatan mental. Ketika seseorang terus-menerus membandingkan hidup mereka dengan kehidupan orang lain yang tampak sempurna di sosial media, hal ini dapat menurunkan rasa percaya diri dan memperburuk perasaan cemas dan depresi. Untuk itu, banyak anggota Generasi Z yang berusaha untuk mengurangi paparan terhadap jenis konten ini, dengan berfokus pada hal-hal yang lebih positif dan autentik.
Di sisi lain, ada pula gerakan yang mendorong kesejahteraan mental dengan menggali lebih dalam tentang pentingnya hidup yang sederhana dan penuh makna, bukan hanya materi. Banyak influencer dan selebritas yang lebih memilih untuk berbagi cerita tentang perjuangan hidup, kebahagiaan dari hal-hal kecil, atau keberhasilan dalam mencapainya dengan cara yang lebih sehat secara mental dan emosional.
Budaya Autentik dan Kesadaran Sosial di Media Sosial
Sebagai respons terhadap budaya pamer kekayaan, Generasi Z mulai mempromosikan budaya yang lebih autentik di media sosial. Mereka lebih memilih berbagi cerita yang nyata tentang kehidupan mereka, yang mencakup tantangan, pencapaian, kegagalan, dan proses perjalanan mereka. TikTok, misalnya, telah menjadi platform di mana banyak pengguna berbagi pengalaman kehidupan sehari-hari mereka tanpa harus menunjukkan kesuksesan yang berlebihan atau barang-barang mewah. Konten yang lebih jujur ini memberi ruang bagi orang lain untuk merasa terhubung dan diterima tanpa harus merasa kurang atau inferior.
Selain itu, Generasi Z semakin peduli terhadap keberlanjutan dan tanggung jawab sosial. Mereka lebih cenderung untuk mempromosikan gaya hidup yang ramah lingkungan, mengurangi konsumsi berlebihan, dan mendukung usaha-usaha sosial yang membantu masyarakat. Gerakan ini juga tercermin dalam bagaimana mereka memilih produk yang mereka konsumsi atau merek yang mereka dukung, dengan lebih banyak memilih brand yang bertanggung jawab terhadap isu-isu sosial dan lingkungan.
Gerakan ini semakin memperkuat ide bahwa kebahagiaan tidak dapat diukur dari materi semata, melainkan dari pengalaman hidup yang lebih bermakna, hubungan yang positif, dan kontribusi terhadap kesejahteraan orang lain dan planet ini. Hal ini menjadi sebuah sikap yang terus berkembang di kalangan Generasi Z.
Penerimaan Diri dan Pembentukan Identitas yang Sehat
Selain menentang budaya pamer kekayaan, Generasi Z juga lebih fokus pada penerimaan diri dan pembentukan identitas yang sehat di media sosial. Mereka berusaha untuk menampilkan diri mereka yang sejati dan tidak terjebak pada citra yang diciptakan oleh tekanan sosial. Kesadaran akan pentingnya kesehatan mental dan kebahagiaan yang lebih otentik menjadi lebih dihargai, menggantikan keinginan untuk tampil sempurna di dunia maya.
Salah satu contoh penting dari hal ini adalah semakin banyaknya konten yang mengangkat tema kepercayaan diri, body positivity, dan penerimaan terhadap perbedaan. Influencer dan publik figur dari Generasi Z lebih terbuka berbicara tentang masalah pribadi mereka, seperti kecemasan, depresi, dan perjalanan menuju kesejahteraan mental, yang memberikan inspirasi dan mengedukasi banyak orang untuk lebih menerima diri mereka sendiri tanpa harus merasa tertekan oleh standar sosial media yang kerap kali tidak realistis.
Penutup: Menuju Sosial Media yang Lebih Positif dan Bermakna
Generasi Z, dengan karakteristik mereka yang lebih peduli terhadap isu-isu sosial dan keberlanjutan, mulai menunjukkan penolakan terhadap budaya pamer kekayaan di sosial media. Mereka lebih memilih berbagi konten yang autentik, jujur, dan menginspirasi, sambil mempromosikan kehidupan yang lebih bermakna dan seimbang. Hal ini membuka jalan bagi perubahan budaya di sosial media, di mana nilai-nilai seperti kesetaraan, penerimaan diri, dan keberlanjutan menjadi semakin dominan.
Melalui sikap ini, Generasi Z membuktikan bahwa sosial media tidak harus selalu menjadi tempat untuk pamer kemewahan, tetapi bisa menjadi platform untuk berbagi cerita kehidupan yang lebih nyata dan positif, yang pada akhirnya dapat menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan peduli terhadap kesejahteraan bersama.

